Archive for 2013
Definisi seni menurut para ahli
assalamualaikum wr.wb
hari ini aku posting lagi
Definisi seni menurut para ahli
hari ini aku posting lagi
Definisi seni menurut para ahli
Pengertian Seni Seni adalah ide, gagasan, persasaan, suara hati, gejolak
jiwa, yang diwujudkan atau di expresikan, melalui unsur unsur tertentu, yang bersifat
indah untuk memenuhi kebutuhan manusia walaupun banyak juga karya seni yang
digunakan untuk binatang. Seni indah menurut ukuran yang menikmati.
1.
Kottak
seni
sebagai kualitas, hasil ekspresi, atau alam keindahan atau segala hal yang
melebihi keasliannya serta klasifikasi objek-subjek terhadap kriteria estetis.
2.
J.J
Hogman
Kesenian
adalah sesuatu yang mempunyai unsur ideas, activities, dan artifacts.
3.
Aristoteles
seni adalah peniruan terhadap alam tetapi sifatnya harus ideal.
4. Plato dan Rousseau
seni adalah hasil peniruan alam dengan segala seginya.
5. Ki Hajar Dewantara
seni adalah segala perbuatan
manusia yang timbul dari perasaan dan sifat indah, sehingga menggerakan jiwa
perasaan manusia
6. Ahdian Karta Miharja
seni adalah kegiatan rohani
yang mereflesikan realitas dalam suatu karya yang bentuk dan isinya mempunya
untuk membangkitkan pengalaman tertentu dalam rohaninya penerimanya.
7. Drs. Sudarmaji
seni adalah segala manifestasi
batin dan pengalaman estetis dengan menggunakan media
bidang,garis,warna,tekstur,volume dan gelap terang.
8. Drs Popo Iskandar
seni adalah hasil ungkapan
emosi yang ingin di sampaikan kepada orang lain dalam kesadaran hidup
bermasyarakat/berkelompok.
9. Prof. Drs. Suwaji bastomi
seni adalah aktivitas batin
dengan pengalaman estetika yang menyatakan dalam bentuk agung yang mempunyai
daya membangkitkan rasa takjub dan haru.
10. Enslikopedia Indonesia
seni adalah penciptaan segala
hal atau benda yang karena keindahannya orang senang melihatnya atau
mendengarnya.
11. Schopenhauer
seni adalah segala usaha untuk
menciptakan bentuk-bentuk yang menyenangkan. Menurut tiap orang senang dengan
seni music meskipun seni musik adalah seni yang paling abstrak
12. Eric Ariyanto
seni adalah kegiatan rohani
atau aktivitas batin yang di refleksikan dalam bentuk karya yang dapat
membangkitkan perasaan orang lain yang melihat atau mendengarkannya.
13.
Kuntjaraningrat
Kesenian adalah suatu kompleks dari
ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, dan peraturan dimana kompleks
aktivitas dan tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat dan biasanya
berwujud benda-benda hasil manusia.
14. William A. Haviland
Kesenian adalah keseluruhan sistem
yang melibatkan proses penggunaan imajinasi manusia secara kreatif di dalam
sebuah kelompok masyarakat dengan kebudayaan tertentu
15. Irving Stone
Kesenian adalah kebutuhan pokok.
Seperti roti atau anggur atau mantel hangat dimusim dingin. Mereka yang
mengira kesenian adalah barang mewah, pikirannya tidak utuh. Roh manusia
menjadi lapar akan kesenian seperti halnya perutnya keroncongan minta makan
16. Dr.Yustiono
mengartikan ilmu sebagai suatu
cabang studi yang berkenaan dengan observasi dan klasifikasi fakta, khususnya
dengan penetapan hukum-hukum yang teruji baik melalui induksi maupun hipotesis
atau secara khusus, ilmu berarti pengetahuan yang disepakati dan terakumulasi serta
disusun dan dirumuskan dengan merujuk kepada pendapatan kebenaran umum atau
gerak hukum umum.
17. Dra.Nuning
Y.Damayanti,Dipl.Art.
= Seni pada mulanya adalah proses dari manusia, dan oleh karena itu merupakan
sinonim dari ilmu. Dewasa ini, seni bisa dilihat dalam intisari ekspresi dari
kreatifitas manusia.
18. Ira
Adriati, M.Sn.
= seni adalah proses dan produk dari memilih medium, dan suatu set peraturan
untuk penggunaan medium itu, dan suatu set nilai-nilai yang menentukan apa yang
pantas dikirimkan dengan ekspresi lewat medium itu, untuk menyampaikan baik
kepercayaan, gagasan, sensasi, atau perasaan dengan cara seefektif mungkin
untuk medium itu.
19. Irma
Damayanti, M.Sn.
= seni bisa dilihat dalam intisari ekspresi dari kreatifitas manusia. Seni sangat
sulit untuk dijelaskan dan juga sulit dinilai, bahwa masing-masing individu
artis memilih sendiri peraturan dan parameter yang menuntunnya atau kerjanya
20. Drs.Rizki
Akhmad Zaelani
= Kata "seni" adalah sebuah kata yang semua orang di pastikan mengenalnya,
walaupun dengan kadar pemahaman yang berbeda. Konon kabarnya kata seni berasal
dari kata "SANI" yang kurang lebih artinya "Jiwa Yang Luhur/
Ketulusan jiwa". Mungkin saya memaknainya dengan keberangkatan orang/
seniaman saat akan membuat karya seni, namun menurut kajian ilimu di eropa
mengatakan "ART" (artivisial) yang artinya kurang lebih adalah
barang/ atau karya dari sebuah kegiatan. Namun kita tidaka usah mempersoalkan
makna ini, karena kenyataannya kalu kita memperdebatkan makna yang seperti ini
akan semakain memperkeruh suasana kesenian, biarlah orang memilih yang mana
terserah mereka.
21. Menurut Alexander Baum Garton
Seni
adalah keindahan dan seni adalah tujuan yang positif menjadikan penikmat merasa
dalam kebahagiaan.
22. Emanuel Kant
Seni
adalah sebuah impian karena rumus rumus tidak dapat mengihtiarkan kenyataan.
23. Menurut Leo Tolstoy
Seni adalah menimbulkan kembali perasaan yang
pernah dialami.
24. Herbert
menyatakan bahwa istilah “art” pada
umumnya dihubungkan dengan bagian seni yang biasa ditandai dengan istilah
“plastic” atau “visual”, tetapi semestinya di dalamnya termasuk pula seni
sastra dan seni musik.
25. Akhdiat Kartamiharja, yang
menekankan bahwa seni merupakan kegiatan psikis (rohani) manusia yang
merefleksi kenyataan (realitas). Karena bentuk dan isi karya tersebut memiliki
daya untuk membangkitkan dan menggugah pengalaman tertentu dalam alam psikis si
penikmat atau apresiator.
26. Thomas Munro
mendefinisikan seni sebagai alat buatan
manusia yang menimbulkan efek-efek psikologis atas manusia lain yang
meliahatnya. Efek etrsebut mencakup tanggapan-tanggapan yang berujud
pengamatan, pengenalan, imajinasi yang rasional maupun emosional (Munro,
1963:19)
27. Sudjojono, seorang pelukis zaman revolusi
kemerdekaan Indonesia, yang dianggap sebagai pendobrak tradisi seni lukis
pemandangan alam, juga menyatakan bahwa senia adalah produk ekspresi jiwa, seni
tanpa jiwa ibarat masakan tanpa garam. Isi karya seni yang hidup tercermin dari
kandungan psikis/jiwanya(Yuliman, 1976:9-10)
sumber: Buku Pendidikan
Seni Rupa & Kerajinan untuk mahasiswa PGSD/PGTK, Guru SD/TK Edisi
Yang Disempurnakan, 2005
naskah akedemik dalam pembentukan peraturan
Hae sobat hari ini saya akan membuat naskah akademik
NASKAH AKADEMIK
DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Oleh:
RUSDIANTO S, S.H., M.H
A. NASKAH AKADEMIK PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
1. Pendahuluan
Istilah atau terminologi “Naskah Akademik” bukan merupakan hal baru dalam kerangka proses pembentukan peraturan perundang-undangan di Indoensia. Pada tanggal 29 Desember 1994, Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), menerbitkan sebuah petunjuk teknis penyusunan Naskah Akademik, melalui Surat Keputusan Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional No.G-159.PR.09.10 Tahun 1994 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan Naskah Akademik Peraturan Perundang-undangan yang, antara lain, menjelaskan mengenai nama/istilah, bentuk dan isi, kedudukan serta format dari Naskah Akademik.
Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 188 Tahun 1998 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang menyebutkan istilah Naskah Akademik dengan penyebutan “Rancangan Akademik”. Dalam Pasal 3 ayat (1) Keppres 188/1998 disebutkan “Menteri atau pimpinan Lembaga Pemrakarsa Penyusunan Rancangan Undang-Undang dapat pula terlebih dahulu menyusun rancangan akademik mengenai Rancangan Undang-undang yang akan disusun”.
Sedangkan dalam peraturan yang terbaru, yaitu Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, tidak diatur secara eksplisit mengenai Naskah Akademik. Naskah Akademik itu baru “muncul” secara tegas melalui Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-undangan, Rancangan Peraturan Pemerintah dan Rancangan Peraturan Presiden.
Pasal 5 ayat (1) Perpres Nomor 68 tahun 2005 menyebutkan bahwa: “Pemrakarsa dalam menyusun Rancangan Undang-undangan dapat terlebih dahulu menyusun Naskah Akademik mengenai materi yang akan diatur dalam Rancangan Undang-undang”. Selanjutnya Pasal 5 ayat (2) Perpres Nomor 68 Tahun 2005 menyebutkan “Penyusunan Naskah Akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pemrakarsa bersama-sama dengan Departemen yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan dan pelaksanaannya dapat diserahkan kepada perguruan tinggi atau pihak ketiga lainnya yang mempunyai keahlian untuk itu”.
Keberadaan Naskah Akademik dalam penyusunan peraturan perundang-undangan di Indonesia hingga saat ini memang belum merupakan sebuah keharusan/kewajiban yang harus dilakukan dalam rangka penyusunan peraturan perundang-undangan (termasuk Peraturan Daerah). Kedudukan Naskah Akademik masih dianggap hanya sebagai “pendukung” penyusunan peraturan perundang-undangan. Akan tetapi dengan semakin berkembang dan berubahnya pola kehidupan masyarakat Indonesia serta beberapa permasalahan dalam pembuatan dan pelaksanaan perundang-undangan yang sudah ada sekarang, urgensi Naskah Akademik dalam proses penyusunan peraturan perundang-undangan yang tepat guna, komprehensif dan sesuai dengan asas-asas pembentukan perundang-undangan menjadi sangat penting.
Keberadaan Naskah Akademik memang sangat diperlukan dalam rangka pembentukan peraturan perundang-undangan yang bertujuan agar peraturan perundang-undangan yang dihasilkan nantinya akan sesuai dengan sistem hukum nasional dan kehidupan masyarakat. Dengan digunakannya Naskah Akademik dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan, diharapkan peraturan perundang-undangan yang dihasilkan tidak menghadapi masalah (misalnya dimintakan judicial review) di kemudian hari.
2. Pengertian Naskah Akademik
Selama ini Naskah Akademik bukan merupakan istilah tunggal, karena di dalam literatur maupun dokumen-dokumen resmi dikenal beberapa istilah, antara lain:
a. Rancangan Akademik (sebagaimana dipakai dalam Keputusan Presiden No.188 Tahun 1998 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-undang dan Rancangan Peraturan Pemerintah)
b. Draft Akademik
c. Naskah Awal RUU/RPP
d. Naskah Akademis
e. Naskah Akademik (sebagaimana dipakai dalam Peraturan Presiden No. 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden.
Dalam tulisan ini istilah yang dipakai adalah Naskah Akademik, dengan pertimbangan bahwa istilah inilah yang digunakan dalam Peraturan Presiden No. 68 Tahun 2005, dan istilah ini pun sudah lazim dipakai oleh berbagai kalangan yang bergerak di bidang peraturan perundang-undangan. Sedangkan mengenai pengertiannya, yang dimaksud Naskah Akademik adalah “naskah yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah mengenai konsepsi yang berisi latar belakang, tujuan penyusunan, sasaran yang ingin diwujudkan dan lingkup, jangkauan, objek, atau arah pengaturan Rancangan Peraturan Perundang-undangan”.
3. Bentuk dan Isi Naskah Akademik
Naskah Akademik memuat gagasan konkrit dan aplikatif pengaturan suatu materi perundang-undangan (materi hukum) bidang tertentu yang telah ditinjau secara sistemik-holistik-futuristik dan dari berbagai aspek ilmu (multidisipliner dan interdisipliner).
Naskah Akademik berisikan rekomendasi tentang urgensi (dasar pemikiran perlunya suatu peraturan perundang-undangan), konsepsi, asas hukum, ruang lingkup, dan materi muatan, dilengkapi dengan pemikiran dan penarikan norma-norma yang akan menjadi tuntunan dalam menyusun suatu rancangan peraturan perundang-undangan.
4. Kegunaan Naskah Akademik
Naskah Akademik merupakan:
a. Konsep awal yang memuat gagasan-gagasan tentang dasar pemikiran perlunya disusun suatu rancangan peraturan perundang-undangan, asas-asas hukum, ruang lingkup, dan materi muatan peraturan perundang-undangan dimaksud;
b. Bahan pertimbangan yang dipergunakan dalam permohonan izin prakarsa penyusunan rancangan peraturan perundang-undangan.
c. Bahan dasar bagi penyusunan Rancangan Undang-Undang.
d. Pedoman dari sudut pandang akademik dalam menjelaskan alasan-alasan penarikan rumusan norma tertentu di dalam rancangan peraturan perundang-undangan di setiap tingkat pembahasan rancangan peraturan perundang-undangan terkait.
e. Bahan dasar Keterangan Pemerintah mengenai rancangan peraturan perundang-undangan yang disiapkan Pemrakarsa untuk disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
5. Pengaturan Naskah Akademik
Pasal 18 Undang-undang No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (LN No.53, TLN : 4389), menyatakan :
(1) Rancangan undang-undang yang diajukan oleh Presiden disiapkan oleh Menteri atau pimpinan lembaga pemerintah non departemen sesuai dengan lingkup tugas dan tanggung jawabnya.
(2) Pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi rancangan undang-undang yang berasal dari Presiden, dikoordinasikan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mempersiapkan rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden.
Pasal 18 ayat (3) sebagaimana dikemukakan di atas mengamanatkan perlunya dibuat peraturan pelaksanaan dalam bentuk Peraturan Presiden. Peraturan Presiden dimaksud adalah Perpres Nomor 68 tahun 2005 Tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-undang. Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden.
Pasal 5 Peraturan Presiden No. 68 tahun 2005 mengatur mengenai Naskah Akademik, sebagai berikut:
1) Pemrakarsa dalam menyusun Rancangan Undang-Undang dapat terlebih dahulu menyusun Naskah Akademik mengenai materi yang akan diatur dalam Rancangan Undang-Undang.
2) Penyusunan Naskah Akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemrakarsa bersama-sama dengan Departemen yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan dan pelaksanaannya dapat diserahkan kepada perguruan tinggi atau pihak ketiga lainnya yang mempunyai keahlian untuk itu.
3) Naskah Akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memuat dasar filosofis, sosiologis, dan yuridis, pokok dan lingkup materi yang akan diatur.
4) Pedoman penyusunan Naskah Akademik diatur dengan Peraturan Menteri.
Pendekatan pengaturan di dalam Peraturan Presiden tersebut pada prinsipnya tidak jauh berbeda dari ketentuan sebelumnya yang dimuat dalam Keputusan Presiden No. 188 Tahun 1998 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-undang dan Rancangan Peraturan Pemerintah. Pasal 3 Keppres ini menyatakan:
(1) Menteri atau Pimpinan Lembaga pemrakarsa penyusunan Rancangan Undang-undangan dapat pula terlebih dahulu menyusun rancangan akademik mengenai Rancangan Undang-Undang yang akan disusun.
(2) Penyusunan rancangan akademik dilakukan bersama-sama dengan Departemen Kehakiman dan pelaksanaannya dapat diserahkan kepada Perguruan Tinggi atau Pihak Ketiga lainnya yang mempunyai keahlian untuk itu.
Selanjutnya di dalam Pasal 4 angka (2) ditegaskan bahwa dalam hal Rancangan undang-undang tersebut memerlukan rancangan Akademik, maka rancangan akademik sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 ayat (1) dijadikan bahan dalam pembahasan forum konsultasi.
Kata “dapat” di dalam rumusan Pasal 5 Peraturan Presiden No. 68 tahun 2005 dan dalam Pasal 3 ayat (1) Keppres 188 Tahun 1998 mengandung arti bahwa Naskah Akademik tidak harus dibuat untuk suatu rencana pengajuan RUU. Artinya penyusunan suatu RUU boleh dengan atau tanpa didahului dengan penyusunan Naskah Akademiknya. Implikasi dari pengaturan ini adalah banyaknya RUU yang diajukan tanpa disertai Naskah Akademik.
Lebih lanjut Perpres tersebut menyatakan bahwa penyusunan Naskah Akademik pelaksanaannya dapat diserahkan kepada Perguruan Tinggi atau Pihak Ketiga. Dengan demikian, Perguruan Tinggi, lembaga penelitian dan kajian hukum, lembaga swadaya masyarakat, dan organisasi masyarakat dapat membuat membuat Naskah Akademik suatu RUU baik melalui kerjasama dengan departemen teknis maupun atas prakarsanya sendiri.
Tidak mengherankan apabila dalam praktik dapat ditemukan Naskah-naskah Akademik dengan versi yang beragam, karena berasal dari sumber-sumber yang berlainan (BPHN Dep. Hukum dan HAM, Departemen-departemen/LPND, Perguruan Tinggi, LSM, dan sebagainya) dan dibuat sesuai dengan selera dan persepsi pihak pembuatnya.
Belum adanya keseragaman dalam penyusunan Naskah Akademik telah menjadi kendala khususnya didalam mengoptimalkan kegunaan Naskah Akademik di dalam proses perancangan suatu RUU baik di Departemen Hukum dan HAM maupun di instansi pemrakarsa, termasuk DPR.
Di masa yang lalu, ketentuan dalam Keputusan Presiden No. 188 Tahun 1998 yang “tidak mewajibkan suatu RUU/RPP didahului dengan suatu penyusunan Naskah Akademik”, senantiasa dijadikan salah satu alasan untuk mengabaikan pembuatan Naskah Akademik dalam proses penyusunan RUU. Kondisi yang sama kemungkinan akan terulang, karena Peraturan Presiden No. 68 tahun 2005 pun menyatakan hal yang hampir sama.
6. Upaya Penyempurnaan Petunjuk Teknis Penyusunan Naskah Akademik Peraturan Perundang-Undangan
Sebagaimana telah dikemukakan, salah satu tugas dan fungsi BPHN adalah menyusun Naskah Akademik Peraturan Perundang-undangan. Untuk itu, pada tahun 1994 BPHN telah membuat Petunjuk Teknis Penyusunan Naskah Akademik Peraturan Perundang-undangan yang dituangkan dalam Keputusan Kepala BPHN No.G-159.PR.09.10 Tahun 1994. Keputusan Kepala BPHN ini telah menjadi pedoman di dalam penyusunan Naskah Akademik yang dilaksanakan di BPHN dan di lingkungan Pemerintah, meskipun landasannya masih mengacu kepada Keputusan Presiden No.188 Tahun 1998 tentang Tata cara Mempersiapkan Rancangan Undang-undang dan Rancangan Peraturan Pemerintah yang saat ini sudah dicabut dengan Peraturan Presiden No. 68 tahun 2005.
Dalam rangka tindak lanjut implementasi Peraturan Presiden No. 68 tahun 2005 dan sebagai salah satu upaya meningkatkan kualitas peraturan perundang-undangan, saat ini BPHN telah melakukan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Mengupayakan penyempurnakan Petunjuk Teknis Penyusunan Naskah Akademik Peraturan Perundang-undangan sebagaimana yang dituangkan dalam Keputusan Kepala BPHN No.G-159.PR.09.10 Tahun 1994.
b. Bersama-sama dengan Direktorat jenderal Peraturan Perundang-undangan merancang Peraturan Menteri Hukum dan HAM tentang Pedoman Penyusunan Naskah Akademik.
c. Menyusun format penyusunan Naskah Akademik yang dapat mempertegas perbedaannya dengan format hasil penelitian/pengkajian dan kegiatan lainnya yang bersifat research. Naskah Akademik sedikitnya sudah dapat mengemukakan norma-norma suatu peraturan dan akan lebih baik lagi jika norma-norma tersebut telah dirumuskan dalam pasal demi pasal.
d. Melakukan sosialisasi penyusunan Naskah Akademik sebagai bagian dari pembentukan peraturan perundang-undangan
B. NASKAH AKADEMIK DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH
1. Urgensi Naskah Akademik Dalam Pembentukan Peraturan Daerah
Peraturan Daerah merupakan media bagi Pemerintah Daerah untuk menuangkan usulan-usulan, kebijakan-kebijakan dan/atau aspirasi-aspirasi masyarakat untuk tujuan pembangunan daerah. Diharapkan dari Peraturan Daerah tersebut mampu ditetapkan aturan-aturan yang dapat menunjang pembangunan daerah ke arah yang lebih baik dan lebih maju. Meskipun dalam kenyataannya banyak peraturan daerah yang belum mampu memfasilitasi proses pembangunan demi kemajuan daerah yang bersangkutan.
Pada tataran implementasinya, sebuah peraturan daerah harus tepat sasaran yang diinginkan dari dibentuk dan ditetapkannya peraturan daerah tersebut, dan yang lebih penting lagi adalah membawa manfaat dan maslahat bagi masyarakat. Ini merupakan tugas berat bagi para perancang peraturan daerah agar produk rancangannya sesuai dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, sebagaimana tercantum dalam Pasal 5 UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan jo. Pasal 137 UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya menyangkut asas dapat dilaksanakan, kedayagunaan dan kehasilgunaan, dan kejelasan rumusan.
Dalam praktik, sering ditemukan bahwa para perancang peraturan perundang-undangan pada dinas teknis maupun biro/bagian hukum Pemerintah Daerah belum mampu menerjemahkan kebijakan pemerintah yang telah disusun kedalam bentuk peraturan daerah yang dapat diterapkan secara efektif. Ketidakmampuan para perancang tersebut disebabkan oleh paling sedikit tiga hal, yaitu:
1. Mitos bahwa perancang tidak menangani urusan kebijakan, sebab yang membuat peraturan daerah adalah para pejabat Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan bukan perancang;
2. Banyak Daerah yang tidak memiliki aturan mengenai prosedur yang mengharuskan mendasarkan rancangan peraturan daerah pada pemikiran logis berdasarkan fakta di masyarakat;
3. Sangat sedikit dari perancang yang memiliki pemahaman atas teori, metodologi, dan teknik perancangan peraturan perundang-undangan dan yang dapat secara jelas menerjemahkan kebijakan-kebijakan pemerintah menjadi peraturan daerah yang dapat dilaksanakan secara efektif.
Akibat dari hal-hal tersebut, maka tidak mengherankan bila para perancang peraturan daerah pada dinas teknis maupun biro/bagian hukum Pemerintah Daerah kembali pada kebiasaan yang bermasalah, ketika merancang peraturan daerah, yaitu:
1. Menyadur peraturan perundang-undangan daerah lain;
2. sekedar mengkriminalisasi perilaku yang tidak diinginkan; atau
3. Berdasarkan kompromi keinginan dari kelompok-kelompok kepentingan dominan dalam masyarakat.
Disamping kelemahan dari sisi perancang, permasalahan-permasalahan mendasar dalam proses pembentukan peraturan daerah, antara lain disebabkan karena:
1. Jangka waktu yang diperlukan dalam proses pembentukan Peraturan daerah relatif lama, hal ini terlihat dari fakta bahwa untuk pembentukan sebuah peraturan daerah diperlukan waktu antara 8 – 12 bulan, atau bahkan lebih;
2. Tidak/belum dilibatkannya secara maksimal peranserta masyarakat dalam proses pembentukannya, terutama dari kalangan akademisi dan praktisi hukum. Padahal menurut Pasal 53 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Pasal 139 UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, peranserta masyarakat diperbolehkan dalam proses pembentukan peraturan daerah;
3. Belum digunakannya secara optimal fungsi Naskah Akademik sebagai sebuah instrumen dalam rangka pembentukan peraturan daerah. Padahal terdapat beberapa manfaat yang dapat diperoleh apabila Naskah Akademik digunakan sebagai satu instrumen dalam proses pembentukan peraturan daerah, terutama dalam masalah efisiensi waktu. Keadaan ini ditambah lagi dengan kurangnya pemahaman mengenai keberadaan, manfaat, dan urgensi Naskah Akademik dari para pihak yang terkait dalam pembentukan peraturan daerah.
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, adanya Naskah Akademik bukan (atau sampai saat ini belum diatur secara tegas) sebagai suatu keharusan dalam proses pembentukan peraturan daerah, akan tetapi keberadaan Naskah Akademik sangat diperlukan dalam proses pembentukan peraturan daerah. Naskah Akademik memaparkan alasan-alasan, fakta atau latar belakang tentang hal-hal yang mendorong disusunnya suatu masalah atau urusan sehingga dipandang sangat penting dan mendesak diatur dalam peraturan daerah. Manfaat dari data atau informasi yang dituangkan dalam latar belakang bagi pembentuk peraturan daerah itu adalah bahwa mereka dapat mengetahui dengan pasti tentang mengapa perlunya dibuat sebuah peraturan daerah dan apakah peraturan daerah tersebut memang diperlukan oleh masyarakat.
Selanjutnya, Naskah Akademik menjelaskan aspek filosofis (cita hukum), aspek sosiologis (yakni nilai-nilai yang hidup dan terpelihara dalam kehidupan masyarakat setempat), aspek yuridis (keterkaitan dan keharmonisan secara vertikal dan horizontal dengan peraturan-peraturan yang telah ada sebelumnya), dan aspek politis (political will yang mendukung dibentuknya suatu peraturan daerah yang tercermin dari kebijakan yang ditetapkan oleh para pengambil kebijakan yang menjadi dasar bagi tata laksana pemerintahan).
Aspek filosofis memuat hasil kajian yang mencerminkan landasan ideal atau pandangan yang menjadi dasar cita-cita pada saat menuangkan suatu masalah ke dalam peraturan perundang-undangan. Sedangkan aspek yuridis adalah kajian terhadap dasar-dasar hukum yang menjadi landasan hukum bagi dibuatnya peraturan daerah, baik secara yuridis formal maupun yuridis materiil. Dalam kaitan ini kajian ditujukan terhadap aturan-aturan lain yang dapat dipakai sebagai landasan hukum kewenangan bagi suatu instansi atau institusi untuk membuat peraturan tertentu dan dasar hukum untuk mengatur permasalahan (objek) yang akan diatur. Tidak cukup sampai di situ, peraturan yang baik adalah peraturan yang secara efektif berlaku dalam masyarakat. Untuk itu, perlu dikaji sejauhmana masyarakat secara realita membutuhkan peraturan tentang masalah terkait, dan sejauhmana keberadaan nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakat mendukung keberadaan dan implementasi dari peraturan yang akan dibuat.
Umumnya, teori-teori perundang-undangan hanya menyebutkan tiga aspek kajian untuk mengukur baik-tidaknya suatu peraturan perundang-undangan, yaitu dari aspek filosofis, yuridis, dan sosiologis. Akan tetapi, sebuah peraturan perundang-undangan (termasuk peraturan daerah) tidak bisa sama sekali dilepaskan dari unsur-unsur politis dalam pembentukannya. Aspek politis pada dasarnya mengedepankan persoalan tarik-ulur kepentingan antara pemerintah dan masyarakat. Dalam Naskah Akademik pun kajian terhadap aspek ini perlu dilakukan. Bagaimana sesungguhnya kemauan politik dari pemerintah, dan bagaimana bargaining power dari kemauan politik pemerintah ini ketika berhadapan dengan kepentingan masyarakat, terutama dalam era demokrasi seperti saat ini.
Tidak kurang pentingnya juga kajian-kajian dari berbagai aspek terkait, antara lain, dari aspek ekonomi dan ekologi, yang akan lebih memperkaya Naskah Akademik dan pada tahap selanjutnya juga akan lebih menyempurnakan substansi peraturan perundang-undangan (peraturan daerah) yang akan dibuat. Jika kondisi memungkinkan maka sesungguhnya proses pembentukan peraturan perundang-undangan (termasuk peraturan daerah) perlu menggunakan apa yang disebut proses regulatory impact assessment (RIA), yang berguna untuk mengetahui sejauhmana dampak ekonomis yang timbul dari peraturan tersebut bila sudah terbentuk dan diberlakukan di tengah-tengah masyarakat.
Selain itu, urgensi lainnya adalah dalam Naskah Akademik diberikan gambaran mengenai substansi, materi dan ruang lingkup dari peraturan daerah yang akan dibuat. Dalam hal ini dijelaskan mengenai konsepsi, pendekatan, dan asas-asas dari materi hukum yang perlu diatur, serta pemikiran-pemikiran normanya. Mengenai asas-asas dari materi hukum, pada dasarnya tidak semata-mata terikat pada asas-asas yang telah ditentukan dalam Pasal 6 UU No. 10 tahun 2004 jo. Pasal 138 UU No. 32 tahun 2004, tetapi juga perlu mencermati nilai-nilai, asas-asas hukum adat atau kearifan tradisional yang masih hidup dana berkembang dalam kehidupan masyarakat setempat. Juga dipertimbangkan asas resiko (risk management) yang mau tidak mau akan timbul atau dihadapi nantinya jika peraturan daerah itu sudah terbentuk atau telah diberlakukan. Dengan dituangkannya asas resiko ini, paling tidak sudah ada antisipasi terhadap resiko-resiko negatif yang kemungkinan besar terjadi sebagai konsekuensi dari adanya peraturan daerah terkait.
Naskah Akademik juga memberikan ruang bagi para pengambil keputusan yang berwenang untuk membahas dan menetapkan peraturan daerah (baik pemerintah daerah maupun Dewan perwakilan Rakyat Daerah) untuk mempertimbangan apakah suabtsnasi/materi yang terkandung dalam Naskah Akademik itu layak diatur dalam bentuk peraturan daerah atau tidak, dan apakah hanya perlu satu peraturan daerah atau dimungkinkan untuk dituangkan dalam lebih dari satu peraturan (mungkin peraturan sederajat atau peraturan pelaksanaan).
Saat ini ada tendensi pandangan masyarakat bahwa peraturan perundang-undangan (termasuk peraturan daerah) adalah produk yang selalu berpihak pada kepentingan pemerintah (politik) semata-mata, sehingga dalam pelaksanaannya masyarakat tidak terlalu merasa memiliki dan menjiwai peraturan perundang-undangan terkait. Oleh karena itu, Naskah Akademik diharapkan dapat digunakan sebagai instrumen penyaring, menjembatani, dan meminimalisir unsur-unsur kepentingan politik dari pembentuk peraturan perundang-undangan (peraturan daerah). Naskah Akademik menjelaskan objektivitas tujuan dibentuknya peraturan perundang-undangan, karena didasarkan atas hasil kajian dan/atau penelitian, yang menampung aspirasi serta mengakomodasi kepentingan dan keinginan masyarakat, serta didukung oleh kebijakan politik dan peraturan perundang-undangan.
Berkaitan dengan seringnya terjadi pembatalan terhadap peraturan-peraturan daerah yang dianggap bermasalah, Naskah Akademik diharapkan dapat meminimalisir terjadinya pembatalan demikian, karena didasarkan atas hasil kajian/penelitian yang komprehensif.
Pada kenyataannya, meskipun bukan merupakan suatu keharusan, keberadaan Naskah Akademik sangat diperlukan dalam proses pembentukan peraturan daerah. Oleh karena itu, ke depan perlu dipertimbangkan oleh para pembuat peraturan daerah untuk terlebih dahulu menyusun Naskah Akademik dalam proses pembentukan peraturan daerah, mengingat banyak manfaat yang dapat diambil dari Naskah Akademik dalam keseluruhan proses pembentukan peraturan daerah, mulai dari perencanaan, pembahasan, sampai pada pemberlakuan atau pelaksanaannya.
Dengan digunakannya Naskah Akademik sebagai bagian dari proses pembentukan peraturan daerah, maka diharapkan akan tercipta peraturan-peraturan daerah yang berbasis akademik-ilmiah, tidak semata-mata kumpulan pasal-pasal yang ketika diterapkan ternyata tidak efektif. Jika demikian halnya, maka kerugian besar, baik berkaitan dengan waktu, materi maupun pikiran, harus ditanggung oleh daerah. Apalagi jika kemudian akibat dari adanya peraturan daerah itu muncul gejolak di masyarakat.
2. Tahapan Proses Penyusunan Naskah Akademik
Proses penyusunan Naskah Akademik terdiri dari beberapa tahap, pada tahap pertama diawali dengan melakukan persiapan, tahap pelaksanaan penyusunan Naskah Akademik, diskusi publik draft awal Naskah Akademik, evaluasi draft Naskah Akademik, penyempurnaan atau finalisasi penyusunan Naskah Akademik, dan penyerahan Naskah Akademik kepada pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Daerah sebagai bahan masukan dalam proses pembentukan peraturan daerah.
Tahap persiapan penyusunan Naskah Akademik dimulai dengan membentuk Tim Penyusun Naskah Akademik Peraturan Daerah, yang terdiri dari personel yang dianggap memiliki kompetensi dan wawasan luas di bidangnya. Susunan personalia Tim ini disesuaikan dengan kebutuhan dan pokok persoalan yang akan dibuat peraturan daerahnya. Kompetensi para anggota Tim bukan semata-mata di bidang hukum, tetapi akan lebih baik apabila melibatkan pakar dari beragam disiplin ilmu terkait dengan permasalahan yang akan dikaji. Kompetensi anggota dari disiplin ilmu hukum dan perundang-undangan diperlukan untuk menelaah aturan-aturan hukum dan pola perancangan peraturan perundang-undangan. Pada tahap persiapan ini dilaksanakan kegiatan yang menyangkut aspek teknis Tim serta pengumpulan data dan informasi yang relevan dengan pokok persoalan.
Tahap selanjutnya adalah penyusunan draft Naskah Akademik sesuai dengan pola dan sistematika standar yang biasa dipakai dalam penyusunan Naskah Akademik. Tahapan ini memerlukan waktu yang cukup, karena selain menuangkan berbagai data dan informasi ke dalam bentuk Naskah Akademik, juga mulai dipikirkan alternatif kaedah-kaedah atau norma-norma dari narasi yang disusun. Penarikan kaedah/norma hukum inilah yang membedakan antara Naskah Akademik dan hasil penelitian/kajian biasa.
Jika draft Naskah Akademik sudah selesai disusun, maka tahap berikutnya adalah menyelenggarakan diskusi publik (public hearing). Tujuan dari diskusi publik ini, selain dari mengenaikan/menginformasikan Naskah Akademik kepada masyarakat dan pihak-pihak terkait, juga menghimpun masukan dari berbagai pihak, dalam rangka memperkaya dan menyempurnakan Naskah Akademik. Diskusi publik ini dapat berbentuk diskusi terfokus, lokakarya, seminar, jaring aspirasi publik, pertemuan konsultasi, atau juga mempublikasikannya di media masa.
Evaluasi terhadap draft Naskah Akademik perlu dilakukan setelah memperoleh masukan atau tanggapan dari masyarakat. Pada tahap ini Tim penyusun Naskah Akademik mulai menginventarisir masukan-masukan yang diperoleh dari diskusi publik dan sedapat mungkin mengakomodir masukan-masukan yang berfmanfaat ke dalam Naskah Akademik.
Selanjutnya Tim penyusun Naskah Akademik menyempurnakan dan menetapkan draft akhir Naskah Akademik, untuk diserahkkan kepada pemerintah daerah dan/atau DPRD, sebagai bahan masukan dan pertimbangan dalam pembahasan itu.
C. FORMAT NASKAH AKADEMIK
Naskah Akademik terdiri dari dua bagian, yaitu (1) bagian yang memuat hasil kajian materi RUU yang akan diusulkan; dan (2) bagian yang memuat Naskah Awal RUU yang diusulkan.
1. Format Bagian Pertama
a. Sampul Depan/Cover, berisi judul dan penyusun Naskah Akademik.
b. Kata Pengantar, yang berisi pengantar proses penyusunan Naskah Akademik.
c. Daftar Isi
Bab I Pendahuluan
A. Latar Belakang
Memuat pemikiran tentang konstatering fakta-fakta yang merupakan alasan-alasan pentingnya materi hukum yang bersangkutan harus segera diatur.
B. Dasar Pemikiran Perlunya RUU
Memuat pemikiran tentang dasar perlunya RUU dibentuk, antara lain meliputi dasar filosofis, dasar sosiologis, dasar yuridis, dasar psikopolitik, dan dasar ekonomi.
C. Maksud dan Tujuan
Mengemukakan tentang apa yang hendak dicapai melalui pembentukan RUU tersebut (misalnya memberikan jaminan kepastian hukum).
D. Metode Pendekatan
E. Analisis Hukum Positif Yang Terkait Materi Hukum RUU
Memuat hasil inventarisasi berikut analisis peraturan perundang-undangan terkait atau peraturan perundang-undangan yang memiliki ketentuan-ketentuan berkenaan dengan materi RUU. Dalam hal ini perlu juga diperhatikan dan dipertimbangkan ketentuan-ketentuan hukum tidak tertulis, hukum adat dan/atau kebiasaan dan kearifan lokal/tradisional yang berkembang dalam masyarakat, serta ketentuan-ketentuan dalam traktat-traktat, konvensi-konvensi atau perjanjian-perjanjian internasional (multilateral-global, multilateral-regional, dan bilateral) terutama yang telah diratifikasi oleh Indonesia.
Bab II Ruang Lingkup Materi Naskah Akademik
A. Ketentuan Umum
1. Memuat terminologi-terminologi atau pengertian-pengertian yang dipakai dalam Naskah Akademik beserta arti dan maknanya masing-masing.
2. Memuat pendekatan asas-asas hukum dan tujuan pengaturan bagi RUU yang akan dibentuk.
Dalam bagian ini dielaborasi asas-asas yang tercantum dalam Pasal 6 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2004, yaitu asas: (a) pengayoman; (b) kemanusiaan; (c) kebangsaan; (d) kekeluargaan; (e) kenusantaraan; (f) bhineka tunggal ika; (g) keadilan; (h) kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; (i) ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau dan (j) keseimbangan, keserasian dan keselarasan.
Akan tetapi, asas-asas hukum tersebut tidak harus semuanya diterapkan. Juga dimungkinkan untuk memasukkan asas-asas hukum lainnya sesuai dengan dasar, tujuan, fungsi dan materi muatan RUU. Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 6 ayat (2): “Selain asas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Peraturan Perundang-undangan tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.”
B. Materi
Memuat materi muatan yang perlu diatur secara sistematik serta pemikiran-pemikiran mengenai rumusan normatif yang disarankan, sedapat mungkin dengan mengemukakan beberapa alternatif rumusan norma.
Bab III Penutup
A. Kesimpulan
1. Rangkuman pokok isi Naskah Akademik.
2. Ruang lingkup materi yang diatur dan kaitannya secara sistematik dengan peraturan perundang-undangan terkait yang berlaku.
3. Bentuk pengaturan yang dikaitkan dengan materi muatan yang diatur.
B. Saran Rekomendasi
1. Apakah semua materi Naskah Akademik sebaiknya diatuir dalam satu bentuk undang-undang atau ada sebagian yang sebaiknya dituangkan dalam peraturan pelaksanaan atau peraturan yang lain.
2. Usulan mengenai penetapan skala prioritas penyusunan Naskah Akademik Peraturan Perundang-undangan dan saat paling lambat RUU sudah selesai diproses beserta alasannya.
Daftar Pustaka
Memuat referensi literatur dan/atau dokumen peraturan perundang-undangan yang digunakan dalam penyusunan Naskah Akademik.
Lampiran
Lampiran-lampiran dapat berupa:
a. Inventarisasi peraturan yang relevan dan masih berlaku
b. Inventarisasi permasalahan hukumnya
c. Berita Acara rapat-rapat atau Notula Rapat, dsb.
2. Format Bagian Kedua
Pada bagian kedua Naskah Akademik dimuat kumpulan norma-norma atau draft pasal-pasal, dengan format sebagaimana diatur dalam UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
D. PENUTUP
Demikian beberapa hal yang perlu diketahui mengenai Naskah Akademik dalam kaitan dengan pembentukan peraturan daerah. Semoga ada manfaatnya
Palembang, 18 November 2008
LAMPIRAN
RANCANGAN
PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR: .............................................
TENTANG
PEDOMAN PENYUSUNAN NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN UNDANG-UNDANG PRAKARSA PEMERINTAH DALAM RANGKA PROGRAM LEGISLASI NASIONAL
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 5 ayat (4) Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden, perlu menetapkan Peraturan Menteri tentang Pedoman Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang;
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389);
2. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia;
3. Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2005 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Kementerian Negara Republik Indonesia;
4. Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG PRAKARSA PEMERINTAH DALAM RANGKA PROGRAM LEGISLASI NASIONAL
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
1. Penyusunan Naskah Akademik adalah pembuatan Naskah Akademik yang dilakukan melalui suatu proses penelitian hukum secara cermat, komprehensif dan sistematis.
2. Naskah akademik adalah naskah yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai konsepsi yang berisi latar belakang, tujuan penyusunan, sasaran yang ingin diwujudkan dan lingkup, jangkauan, obyek, atau arah pengaturan rancangan undang-undang.
3. Paparan Naskah Akademik adalah pemaparan hasil penyusunan Naskah Akademik oleh pemrakarsa yang dikoordinasikan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, dengan melibatkan para ahli, wakil instansi terkait, unsur perguruan tinggi dan unsur masyarakat.
4. Badan Pembinaan Hukum Nasional adalah unit Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia yang tugas dan fungsinya antara lain di bidang perencanaan pembangunan Hukum Nasional.
BAB II
MATERI MUATAN DAN PENYUSUNAN
NASKAH AKADEMIK
Pasal 2
(1) Naskah Akademik secara umum memuat dasar filosofis, yuridis, dan sosiologis, pokok dan lingkup materi yang akan diatur, dan draft awal Rancangan Undang Undang.
(2) Naskah Akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun berdasarkan Pedoman Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri ini.
(3) Pedoman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku mutatis mutandis untuk penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Pemerintah dan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah.
Pasal 3
Pemrakarsa Rancangan Undang Undang dan Naskah Akademik adalah Menteri atau Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen yang mengajukan usul penyusunan Rancangan Undang-Undang.
Pasal 4
Pelaksanaan penyusunan Naskah Akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dapat diserahkan kepada perguruan tinggi atau pihak ketiga lainnya yang mempunyai keahlian untuk itu.
BAB III
KEDUDUKAN NASKAH AKADEMIK
Pasal 5
(1) Naskah Akademik merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari usul pengajuan Rancangan Undang-Undang dalam Daftar Prioritas Program Legislasi Nasional.
(2) Naskah Akademik yang dapat diajukan dalam rapat koordinasi Program Legislasi Nasional adalah Naskah Akademik dari Rancangan Undang-Undang yang telah disetujui dalam Rapat Pembahasan Tahunan Program Legislasi Nasional Pemerintah sebagai prioritas.
(3) Rapat Pembahasan Tahunan Program Legislasi Nasional Pemerintah diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional dalam rangka penyusunan prioritas Program Legislasi Nasional Pemerintah.
BAB IV
PAPARAN NASKAH AKADEMIK
Pasal 6
(1) Paparan Naskah Akademik dilakukan oleh Pemrakarsa di Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.
(2) Badan Pembinaan Hukum Nasional mengkoordinasikan pelaksanaan paparan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Pelaksanaan paparan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat melibatkan para ahli, wakil instansi terkait, unsur perguruan tinggi dan unsur masyarakat.
(4) Dalam hal Naskah Akademik tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 harus disempurnakan oleh Pemrakarsa
Pasal 7
Paparan Naskah Akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dilaksanakan sebelum rapat koordinasi penyusunan Program Legislasi Nasional antara DPR dengan Pemerintah.
Pasal 8
Naskah Akademik yang telah dipaparkan dan telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, diajukan dalam rapat koordinasi Program Legislasi Nasional dengan Badan Legislasi DPR RI.
BAB V
PEMBIAYAAN
Pasal 9
Pembiayaan untuk keperluan paparan Naskah Akademik dan penyempurnaannya dibebankan kepada instansi pemrakarsa.
BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 10
Naskah Akademik yang ada, dan telah menjadi salah satu persyaratan pengajuan RUU Prioritas sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini, dinyatakan tetap berlaku.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 11
Pedoman penyusunan Naskah Akademik sebagaimana tercantum dalam lampiran merupakan satu kesatuan dan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Pasal 12
Peraturan Menteri ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : ……………
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI
Andi Mattalatta
LAMPIRAN PERATURAN MENTERI
NOMOR : ..........................................
TANGGAL: ...........................................
PEDOMAN PENYUSUNAN NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN UNDANG-UNDANG
I. SISTEMATIKA NASKAH AKADEMIK
JUDUL NASKAH AKADEMIK
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
B. IDENTIFIKASI MASALAH
C. MAKSUD DAN TUJUAN
D. METODE PENELITIAN
BAB II ASAS-ASAS SEBAGAI LANDASAN FILOSOFIS,
YURIDIS, DAN SOSIOLOGIS
BAB III MODEL PENGATURAN, MATERI MUATAN RUU, DAN KETERKAITANNYA DENGAN HUKUM POSITIF
BAB IV PENUTUP
LAMPIRAN KONSEP AWAL RANCANGAN UNDANG-UNDANG
II. PENJELASAN SISTEMATIKA NASKAH AKADEMIK
JUDUL NASKAH AKADEMIK
Memuat jenis dan nama peraturan perundang-undangan
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemikiran mengenai alasan-alasan filosofis, sosiologis, yuridis, yang mendasari pentingnya materi hukum yang bersangkutan segera diatur dengan peraturan perundang-undangan.
B. Identifikasi Masalah
Pointer permasalahan yang akan dituangkan dalam ruang lingkup naskah akademik
C. Maksud dan Tujuan
Uraian tentang maksud dan tujuan penyusunan naskah akademik.
Maksud penyusunan naskah akademik adalah sebagai landasan ilmiah bagi penyusunan rancangan undang-undang. Tujuan penyusunan naskah akademik adalah untuk memberikan arah, dan menetapkan ruang lingkup pengaturan.
D. Metode Penelitian
Uraian tentang metode penelitian yang digunakan dalam melakukan penelitian sebagai bahan penunjang penyusunan naskah akademik. Metode ini terdiri dari metode pendekatan dan metode analisis data.
BAB II ASAS-ASAS SEBAGAI LANDASAN FILOSOFIS, YURIDIS, DAN SOSIOLOGIS
Memuat berbagai asas-asas filosofis, yuridis, dan sosiologis dari ruang lingkup yang akan diatur.
BAB III MODEL PENGATURAN, MATERI MUATAN RUU, DAN KETERKAITANNYA DENGAN HUKUM POSITIF
Berisi analisis terhadap identifikasi masalah berdasarkan teori, asas-asas, dan hukum positif terkait untuk menetapkan model pengaturan, materi muatan rancangan undang-undang.
Analisis disajikan dalam bentuk uraian secara sistematis dan dapat dikuatkan dengan data kuantitatif. Jika perlu keterkaitan dengan hukum positif diperlukan pembahasannya sebagai langkah harmonisasi dan sinkronisasi.
BAB IV PENUTUP
Berisi jawaban terhadap identifikasi masalah yang telah ditetapkan yang menjadi pertimbangan penyusunan materi muatan dan rekomendasi terkait dengan pentingnya penyusunan regulasi dimaksud.
III. SISTEMATIKA KONSEP AWAL RANCANGAN UNDANG-UNDANG
Konsep awal RUU yang terdiri dari pasal-pasal yang diusulkan dengan didasarkan pada uraian akademik.
Konsiderans :
Memuat uraian singkat mengenai pokok-pokok pikiran yang menjadi latar belakang dan alasan pembuatan rancangan undang-undang. Pokok-pokok pikiran memuat unsur filosofis, yuridis, dan sosiologis.
Alas/Dasar Hukum :
Memuat dasar kewenangan pembuatan undang-undang dan peraturan perundang-undangan yang memerintahkan pembuatan undang-undang tersebut.
Ketentuan Umum :
Memuat istilah-istilah yang dipakai dalam Naskah Akademik dan pengertiannya.
Materi :
Memuat konsep tentang asas-asas dan materi hukum yang perlu diatur, serta rumusan norma dan pasal-pasalnya yang disarankan; bila mungkin dengan mengemukakan beberapa alternatif.
Ketentuan Pidana (jika perlu) :
Memuat pemikiran-pemikiran tentang perbuatan-perbuatan tercela yang patut dilarang dengan menyarankan sanksi pidananya.
Ketentuan Peralihan (jika perlu):
Memuat penyesuaian terhadap peraturan perundang-undangan yang sudah ada pada saat peraturan perundang-undangan yang baru mulai berlaku, agar peraturan perundang-undangan tersebut dapat berjalan dengan lancar dan tidak menimbulkan permasalahan hukum.
Ketentuan Penutup :
Pada umumnya memuat :
a. Saran tentang penunjukan lembaga/instansi atau alat perlengkapan Negara yang terkait dan karena itu perlu diikutsertakan dalam penyusunan dan pelaksanaan Rancangan Undang Undang / Rancangan Peraturan Pemerintah;
b. Saran tentang pemberian nama singkat RUU/RPP yang bersangkutan;
c. Saran tentang saat mulai berlakunya Undang-Undang setelah diundangkan;
d. Pendapat tentang pengaruh Undang-Undang yang baru terhadap Undang-Undang yang lain; baik yang sudah ada sebelumnya dan Undang-Undang yang masih harus dibuat.
makalah tentang multimedia
BAB II
PEMBAHASAN
A.
KATEGORI
MULTIMEDIA
Multimedia
merupakan penggabungan lebih dari satu media menjadi suatu bentuk komunikasi
yang bersifat multimodal atau multichannel (Heinich, 2002; Boyle,
1997; Rieber, 1994). Multimedia telah banyak digunakan oleh para guru dan dosen
untuk menyampaikan materi ajarnya kepada para siswa dan mahasiswa.
Software-software presentasi seperti Microsoft PowerPoint menggabungkan
berbagai jenis media ke dalam suatu paket presentasi yang menarik, yang akan
menarik perhatian dan meningkatkan motivasi para pembelajar (Jonassen dkk,
1999).
1.
Multimedia
content production
Multimedia adalah penggunaan dan
pemrosesan beberapa media (text, audio, graphics, animation, video, and
interactivity) yang berbeda untuk menyampaikan informasi atau menghasilkan
produk multimedia (music, video, film, game, entertaiment, dll) Atau penggunaan
sejumlah teknologi yang berbeda yang memungkinkan untuk menggabungkan media
(text, audio, graphics, animation, video, and interactivity) dengan cara yang
baru untuk tujuan komunikasi. Dalam
kategori ini media yang digunakan (tampak pada gambar 2.1) adalah :
o Media Teks o
Media Graph / Image
o Media Audio o
Media Interactivity
o Media Video o
Media Special Effect
o Media Animasi
1. 1. Teks
Teks merupakan bentuk media yang
paling umum digunakan dalam menyajikan informasi, baik yang menggunakan model
baris perintah ataupun GUI. Teks dapat disajikan dengan berbagai bentuk font
maupun ukuran.
1.2. Suara
Suara merupakan media ampuh untuk
menyajikan informasi tertentu: misalnya untuk memperdengarkan cara melafalkan
sebuah kata dalam bahasa
1.3. Gambar Statis
Kata pepatah,
“Gambar mewakili seribu kata”. Hal ini mencerminkan bahwa sebuah gambar
seringkali dapat lebih berarti bagi seseorang dari pada sejumlah kata.
Umumnya gambar
disimpan dengan cara dimampatkan. Tujuannya adalah untuk menghemat ruang dalam
penyimpanan eksternal. Untuk melakukan pemampatan ini, ada dua teknik yang
dikenakan. Yang pertama dinamakan teknik lossless dan yang kedua adalah
teknik lossy. Teknik pemampatan lossy adalah suatu teknik yang
memampatkan data sehingga gambar rekonstruksi hasil pemampatan mempunyai
perbedaan dengan gambar asli, tetapi bagi mata manusia kelihatan sama. Dengan
cara seperti ini, gambar dapat dimampatkan sekecil mungkin. Teknik pemampatan lossless
adalah suatu teknik yang menghasilkan gambar rekonstruksi yang sama dengan
gambar aslinya.
1.4. Animasi
Animasi berarti
teknik untuk membuat gambar yang bergerak. Berbagai teknik animasi telah
diciptakan. Cara sederhana untuk membuat gambar bergerak adalah dengan
menggunkan sejumlah gambar yang berbeda sedikit. Sebagai contoh dapat dilihat
pada Gambar 2, gambar-gambar tersebut jika ditampilkan pada layar secara
berturut-turut dan bergantian, maka terkesan pesawat ruang angkasa yang sedang
melepaskan roket pendorong.
1.5. Video
Video adalah
teknologi pemrosesan sinyal elektronik mewakilkan gambar bergerak. Aplikasi
umum dari teknologi video adalah televisi. Istilah video juga digunakan sebagai
singkatan dari videotape, dan juga perekam video dan pemutar video.
2.
Multimedia communication
Multimedia
adalah menggunakan media (masa), seperti televisi, radio,cetak dan internet
untuk mempublikasikan/ menyiarkan/ mengkomunikasikan material advertising,
publicity, entertaiment, news, education, dll. Dalam kategori ini media yang digunakan adalah
·
TV
Radio Film Cetak Musik
·
Game
Entertaiment Tutorial ICT
(Internet)
àPerbandingan dengan menggunakan illustrasi GAMBAR :
Gambar 1. Media yang digunakan Multimedia
Content Production
Gambar
2. Media yang digunakan Multimedia Communication
Tabel 1 merupakan illustrasi dari keterkaitan antara
Gambar 1 dan Gambar 2.